Poster Illustrasi Hari Kartini (Freepik)
Written by Directorate of Community Welfare (4/21/2025)
"Habis gelap, terbitlah terang."
Kutipan khas Raden Adjeng Kartini di atas hingga kini menjadi simbol harapan, perjuangan, dan perubahan dari generasi ke generasi. Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini sebagai bentuk penghargaan atas peranannya dalam memperjuangkan hak pendidikan, kebebasan berpikir, dan bersuara, terutama bagi perempuan. Namun, lebih dari perayaan tahunan dengan busana kebaya, semangat Kartini kian hidup dalam bentuk yang lebih luas terlebih bagi pelajar Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di luar negeri.
Februari 2025 lalu menjadi babak baru bagi pelajar Indonesia yang baru menginjakkan kaki di Australia. Bagi mereka dan yang telah lebih dahulu memulai pendidikan mereka pun, pengalaman belajar di luar negeri tak ubahnya adalah sebuah petualangan besar. Dari cuplikan-cuplikan kebersamaan yang dibagikan lewat unggahan Instagram, senyum ramah di gedung kampus, secangkir kopi hangat di perpustakaan, dan pemandangan iconic kota-kota Australia, banyak yang datang dengan semangat penuh dan mimpi besar akan kehidupan kampus yang sempurna. Namun, di antara cerita yang tersusun rapi itu, ada bagian-bagian yang tak sempat diceritakan, percakapan yang tak dimengerti, tugas yang terasa terlalu sulit, kesepian yang datang di sela keramaian. Secara garis besar, tantangan ini muncul dalam dua bentuk utama yaitu adaptasi akademis dan budaya. Eratnya kaitan antara kedua tantangan ini menyiratkan pentingnya pemahaman bahwa setiap kita memiliki perjalanan perjuangan masing-masing , namun dalam menjalaninya, kita tidak sendiri.
Dalam konteks akademik, tidak sedikit pelajar Indonesia yang terbiasa dengan sistem pembelajaran yang berorientasi pada hafalan mengalami culture shock ketika harus menghadapi sistem pendidikan Australia yang menekankan pada kemampuan berpikir kritis, argumentasi terbuka, dan diskusi aktif.
Bukan soal tidak mampu, tetapi beradaptasi dengan cara berpikir seperti itu membutuhkan waktu. Samanhudi dan Linse (2019) mencatat bahwa mahasiswa pascasarjana Indonesia kerap merasa tidak percaya diri saat berdiskusi di kelas, terutama karena keterbatasan bahasa dan kekhawatiran akan membuat kesalahan. Tidak jarang mahasiswa akhirnya memilih diam, meski sebenarnya mereka memiliki gagasan dan pandangan yang berharga.
Salah satu permasalahan lain yang kerap hadir adalah impostor syndrome; perasaan bahwa diri kita tidak cukup pintar, tidak sebanding dengan teman-teman lain, tidak sepantasnya berada di sini, atau sekadar beruntung bisa kuliah di luar negeri. Rasa ragu itu tumbuh perlahan , namun nyata dan menyita ruang pikiran. Dan di tengah-tengah rutinitas yang tak mengenal istirahat, burnout kerap muncul. Burnout tidak selalu datang secara dramatis, namun perlahan segala hal menjadi terasa lebih berat dari biasanya. Tumpukan tugas akademik kian menyita waktu dengan tenggat yang datang silih berganti. Titik ini bukanlah sebuah kemunduran, tapi ruang untuk diam sejenak dan kembali mengenali diri sendiri.
Tantangan tidak hanya berhenti pada pergumulan akademis, para pelajar juga harus menghadapi berbagai tantangan budaya. Perbedaan cara berbicara, cara bercanda, bahkan cara menjalin pertemanan bisa terasa membingungkan. Norma-norma yang dulu begitu akrab kini harus dimaknai ulang. Makanan yang biasa menghangatkan hati menjadi lebih sulit dijumpai. Kebiasaan sederhana seperti menyapa tetangga atau makan bersama keluarga berubah menjadi jadi momen yang diam-diam dirindukan.
Interaksi yang minim dengan warga lokal juga menambah rasa keterasingan. Mahasiswa internasional yang kesulitan membangun koneksi sosial cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Mahasiswa internasional mengalami kesulitan untuk masuk ke lingkaran pertemanan lokal. Bukan karena mereka tidak mau berteman, tapi karena standar tentang apa yang dipandang sebagai keramahan dan kedekatan bisa sangat berbeda. Bahasa juga kerap menjadi bagian dari tantangan budaya, lebih dari sekadar grammar dan aksen, terkadang yang terasa sulit justru adalah membaca konteks.
Tapi selayaknya semangat Kartini, ruang bagi kita tumbuh sering kali dimulai dari keterasingan. Berawal dari kegelisahan itu, kita jadi belajar untuk memahami diri lebih dalam terlebih mengenai nilai mana yang ingin kita pertahankan dan bagian mana dari diri kita yang perlu dikembangkan agar bisa hidup berdampingan dengan dunia yang baru.
Di tengah semua kegelisahan dan pergumulan itu, ada hal yang perlu diingat bahwa “kita tidak harus memikul semuanya sendiri”. Bukan persoalan yang mudah, tapi bukan juga harus dijalani dalam diam. Terkait hal ini, semangat Kartini terasa sangat relevan. Makna dari perjuangan Kartini tidak hanya terbatas pada emansipasi perempuan, tetapi juga tentang menghadirkan suara, memperjuangkan ruang belajar dan tumbuh di lingkungan yang menantang secara akademik dan budaya serta berani mengubah rasa tidak cukup menjadi langkah kecil menuju keberdayaan.
Bagi mahasiswa di luar negeri, emansipasi bisa bermakna sangat personal yaitu sebagai bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri ketika diri sedang lelah, rindu rumah, merasa tidak mampu dan takut gagal. Dan setiap perasaan itu punya ruang untuk hadir, tanpa perlu disangkal. Meminta bantuan bukan tanda kelemahan atau tanda seseorang telah menyerah, hal ini justru menjadi paling jujur dari kepedulian pada diri sendiri yang berusaha bertahan dengan cara yang paling penuh kasih.
Kabar baiknya, hampir semua universitas di Australia menyediakan layanan dukungan untuk mahasiswa, baik dalam bentuk academic support maupun counselling services. Mahasiswa bisa membuat janji dengan konselor kampus, menghadiri workshop manajemen stres, atau sekadar datang ke ruang konseling untuk berbicara. Berikut layanan yang bisa dihubungi:
Academic support:
USYD https://www.sydney.edu.au/students/academic-progression
UNSW https://www.student.unsw.edu.au/advising
UQ https://uqu.com.au/student-advocacy-and-support
Monash https://www.monash.edu/student-academic-success
UNIMELB https://students.unimelb.edu.au/academic-skills
Counselling services:
Lifeline Australia https://www.lifeline.org.au/ (13 11 14)
Beyond Blue https://www.beyondblue.org.au/ (1300 22 4636)
University services:
USYD https://www.sydney.edu.au/students/health-wellbeing.html
UNSW https://www.student.unsw.edu.au/counselling
UQ https://about-us.uq.edu.au/projects/mental-health
Monash https://www.monash.edu/students/support/health/counselling
UNIMELB https://services.unimelb.edu.au/counsel
Memperingati Hari Kartini bukan sekadar momen untuk mengenang masa lalu, tetapi kesempatan untuk menghidupkan semangatnya dalam perjuangan yang tengah berlangsung hari ini, walau mungkin tidak selalu lantang, tapi tetap nyata.
Selamat Hari Kartini bagi kita semua yang tengah berjalan perlahan, tapi tidak pernah benar-benar berhenti.
“Tidak ada awan di langit yang tetap selamanya.” — R.A. Kartini
Samanhudi, U., & Linse, C. (2019). Critical Thinking-Related Challenges to Academic Writing: A Case of Indonesian Postgraduate Students at a UK University. Lingua Cultura, 13(2), 107-114. https://doi.org/10.21512/lc.v13i1.5122
Kristiana IF, Karyanta NA, Simanjuntak E, Prihatsanti U, Ingarianti TM, Shohib M. Social Support and Acculturative Stress of International Students. Int J Environ Res Public Health. 2022 May 27;19(11):6568. doi: 10.3390/ijerph19116568. PMID: 35682152; PMCID: PMC9180523.
Pinarbasi, G. (2023). International students’ sociocultural adaptation experiences: their perceived stress and coping strategies. Acad Soc Res J, 8(55), 4059-80.
Penulis naskah: Lilla Nur Firli
Editor: Vanessa Angelique N., Zahrah Alfirdaus, Ilmida Rizka, Annisa Saraswati